Nasrudin diundang tetangganya untuk acara perjamuan yang meriah sekali, dan ratusan orang hadir disana.
Nasrudin datang dengan pakaian sederhana, tidak ada yang menghiraukan
dia, dibiarkan sendirian. Tidak ada satupun yang mengajaknya
bercengkerama, dan tidak disuguhkan makanan apapun.
Nasrudin
pulang, dan mengganti pakaiannya dengan jubah terbaiknya, topi
bertahtakan berlianpun dipakainya, beserta semua perhiasan terbaiknya,
dan semua atribut kebesarannya. Dengan gagah diapun kembali ketempat
acara.
Di depan dia disambut
layaknya seorang raja, diantar langsung pada meja hidang utama. Semua
orang menyapanya dengan hangat, semua mata memandangnya dengan kagum.
Diberi tempat terbaik, dan disuguhkan makanan yang terbaik pula.
Nasrudin melepaskan jubah kebesarannya, dan memasukkannya kedalam
makanan yang berlimpah sambil berkata: “ Ketika aku memakai baju
sederhana, kalian tidak menyapaku dan tidak mengajakku makan enak,
sekarang semua hidangan terbaik disajikan untukku, sebenarnya hidangan
ini adalah untuk jubah dan atribut2ku, maka biarlah mereka saja yang
makan.”
*** Cerita lama dari buku pelajaran bahasa Inggris,
yang melekat pada otak sejak masih SMA, menarik kalau disimak dengan
jernih. Bukan hanya dulu di negeri 1001 malam saja kejadian ini, dijaman
ini pun sama saja. Orang menghargai baju kita, atribut kita, jam emas
Rolex kita, tas LV asli dan mobil mewah kita. Tanpa perduli sebenarnya
kita “apa dan siapa” sebenarnya. Kita mentertawakan Nasrudin dan
tetangganya, kita mentertawakan diri kita sendiri juga. Menjadi
“kelihatannya” lebih penting dari pada “sebenarnya”.
Baju
mahal, pakai Jas, operasi plastik, make up tebal, semuanya telah menjadi
bagian kehidupan kita. Tampang lebih penting dari isi. Sampul lebih
diperhatikan dari pada isi. Tidak ada yang salah, hanya sebuah pemahaman
sederhana akan kehidupan. Kenapa kita harus selalu berjuang untuk
orisinal? Untuk murni? Mungkin, kita tidak perlu melawan pendapat umum,
tapi memanfaatkan pendapat umum untuk keuntungan kita.
*Tanadi Santoso (Re-Post)
Di depan dia disambut layaknya seorang raja, diantar langsung pada meja hidang utama. Semua orang menyapanya dengan hangat, semua mata memandangnya dengan kagum. Diberi tempat terbaik, dan disuguhkan makanan yang terbaik pula.
Nasrudin melepaskan jubah kebesarannya, dan memasukkannya kedalam makanan yang berlimpah sambil berkata: “ Ketika aku memakai baju sederhana, kalian tidak menyapaku dan tidak mengajakku makan enak, sekarang semua hidangan terbaik disajikan untukku, sebenarnya hidangan ini adalah untuk jubah dan atribut2ku, maka biarlah mereka saja yang makan.”
*** Cerita lama dari buku pelajaran bahasa Inggris, yang melekat pada otak sejak masih SMA, menarik kalau disimak dengan jernih. Bukan hanya dulu di negeri 1001 malam saja kejadian ini, dijaman ini pun sama saja. Orang menghargai baju kita, atribut kita, jam emas Rolex kita, tas LV asli dan mobil mewah kita. Tanpa perduli sebenarnya kita “apa dan siapa” sebenarnya. Kita mentertawakan Nasrudin dan tetangganya, kita mentertawakan diri kita sendiri juga. Menjadi “kelihatannya” lebih penting dari pada “sebenarnya”.
Baju mahal, pakai Jas, operasi plastik, make up tebal, semuanya telah menjadi bagian kehidupan kita. Tampang lebih penting dari isi. Sampul lebih diperhatikan dari pada isi. Tidak ada yang salah, hanya sebuah pemahaman sederhana akan kehidupan. Kenapa kita harus selalu berjuang untuk orisinal? Untuk murni? Mungkin, kita tidak perlu melawan pendapat umum, tapi memanfaatkan pendapat umum untuk keuntungan kita.
*Tanadi Santoso (Re-Post)
No comments:
Post a Comment